Kamis, 08 Mei 2008

ETIKA PROFESI POLISI

Kebrutalan Polisi

Hari-hari ini Polri tersudutkan lagi oleh opini buruk sebagai dampak berbagai tindakan Polri akhir-akhir ini. Antara lain kasus makar RMS di Ambon, penangkapan kembali kiai karismatik Abubakar Ba'asyir dari Rutan Salemba dan "kebrutalan" polisi saat menghadapi demonstrasi mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar (1 Mei 2004). Demikian berita yang dilansir berbagai media dalam dan luar negeri.

Terhadap kasus Makassar, ada pernyataan penyeimbang dari Menteri Pendidikan Nasional Prof Malik Fadjar. Dia katakan, kasus UMI Makassar jangan hanya disalahkan polisi tapi juga harus dilihat dari kasusnya secara utuh. Misalnya kenapa mahasiswa UMI sampai menyandera polisi? Penyanderaan terhadap aparat merupakan pelanggaran hukum berat, kalau di luar negeri pelakunya bisa dihukum mati. Kasus Makassar akan kita coba kaji lebih objektif.

Namun pemimpin Polri telah bertindak cepat. Langsung mencopot para komandannya dari Kapolsek, Kapolres, Kapolwiltabes yang terlibat sampai Kapolda Sulawesi Selatan. Padahal dalam Protokol Tambahan I dan II dari Konvensi Jenewa maupun Konvensi Den Haag, untuk pelanggaran tugas-tugas kepolisian di lapangan, anggota-anggota yang bertugaslah yang harus bertanggung jawab bukan komandannya. Karena seorang polisi ketika di lapangan mengambil keputusannya sendiri dan segera dalam menghadapi gangguan kamtibmas yang sulit diprediksi.

Selain itu, setidaknya menjadikan 9 oknum anggota Polri yang terlibat langsung dalam kekerasan itu sebagai tersangka. Bahkan, Komnas HAM mengirim anggotanya untuk menyelidiki secara langsung ke kampus UMI. Kita berharap Komnas HAM tidak hanya menyelidiki anggota Polri yang salah tetapi juga oknum-oknum mahasiswa UMI yang melakukan penyanderaan. Karena yang perlu dilindungi HAM bukan hanya masyarakat umum tetapi juga anggota-anggota Polri dalam menjalankan tugas pekerjaannya yang sarat dengan risiko itu.

Filosofi Kerja Polisi

Filosofi kerja kepolisian universal, adalah vigilat quiscant. Artinya polisi bekerja sepanjang waktu agar masyarakat dapat melakukan aktivitasnya (kerja/belajar maupun istirahat) dengan nyaman. Polri menjabarkan filosofi tersebut dengan "rastrasewakottama" (abdi utama negara dan bangsa) dikristali- sasi dalam tugas pokok selaku pelindung, pengayom, pelayan dan penegak hukum negara dan masyarakat.

Apresiasi tugas pokok polisi adalah to protect and to serve (melindungi dan melayani); secara lebih detail adalah: love humanity, help delinquence and keep them out of jail (cinta kasih, membasmi penyimpangan dan menjauhkan setiap orang dari penjara). Berangkat dari itu Polri mengusung budaya nenek moyang adiluhung yang sangat masyhur. TTKR (tata tenteram karta raharja). Coba dibaca dari belakang berarti tugas Polri untuk menciptakan masyarakat yang raharja (sejahtera). Terwujud jika karta (semua aktivitas) berjalan baik, aktivitas masyarakat dan negara bisa berjalan kalau ada tenteram (keamanan) yang baik dan tenteram bisa terwujud jika ada kepastian hukum (tata).

Muncul sesanti (adagium) "deso mowo coro negoro mowo toto". Di masyarakat ada coro "hukum adat" (hukum tak tertulis) dan negara punya toto (hukum tertulis) keduanya menjadi sumber hukum negara kita. Menurut budayawan Kuntjoroningrat, rakyat Indonesia memiliki ribuan adat-istiadat dan budaya. Bukan hanya memperkaya perkembangan sosial dan hukum tetapi juga membuat aplikasi penegakan hukum tak mudah terutama bagi kepolisian karena di lapangan, law in the books tak selalu sama dengan law in actions. Di sini secara universal kepolisian diberi kewenangan menggunakan diskresi.

Tentang penggunaan kekuatan atau kewenangan oleh polisi (police force) telah banyak referensi bisa dijadikan panduan. Polisi diberi kewenangan menggunakan kekuatannya untuk memaksa seseorang atau kelompok agar mematuhi aturan (makna demokrasi) karena inti demokrasi adalah kepatuhan pada hukum "law enforcement in democratic society".

Polisi menegakkan moralitas masyarakat secara konkret. (J Skolnick, 1971). Banyak profesi yang sebenarnya bertujuan membangun moralitas, seperti guru, rohaniwan, jaksa, hakim, tentara, dan lainnya. Tetapi mereka sebatas mengimbau, mengajak agar moralitas berjalan baik. Hanya Polisi diberi tugas oleh UU untuk mengadakan moralitas masyarakat itu secara konkret dengan mulut, tangan, borgol, pentungan bahkan bedil, kadang dengan mempertaruhkan jiwa polisi.

Kewenangan Polisi

Di tangan polisi, moralitas menjadi sesuatu yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Contoh, jika yang lain cuma bisa mengimbau, jangan mencuri! Lalu keputusannya terserah hati nurani masing-masing orang. Tidak demikian bagi polisi. Polisi nyata bahwa mencuri dilarang dan sang pencuri benar-benar dibekuk Moralitas masyarakatpun menjadi riil, konkret, diwujudkan dengan cara halus ramah dan kadang harus menggunakan paksaan dan kekerasan kepolisian.

Demikian pula ketika polisi mengawal demo yang simpatik tertib pasti polisi bertindak lemah lembut. Tetapi jika unjuk rasa berubah menjadi anarkhi (memaksakan kehendak) maka polisi diperintah oleh UU untuk bertindak tegas walau kadang dianggap keras. Di sinilah Prof Adlow dari Universitas Boston mengatakan, Polisi hanyalah cermin masyarakat, jika masyarakatnya bisa diatur dengan santun, santunlah polisi. Tetapi jika masyarakatnya tak bisa diatur dengan santun maka tidak santunlah polisi. Polisi tak mungkin santun di tengah masyarakat yang kurang ajar.

Dunia memperhatikan kewenangan kepolisian yang luas itu, juga mengatur cara dan aturan penegakan hukum dalam penggunaan kewenangan kepolisian (Code of Conduct for Law Enforcement Officials = CCLEO) Resolusi PBB Nomor 34/169 tanggal 17 Desember 1979. CCLEO memang bukan traktat tetapi instrumen, pedoman otoritatif pada pemerintah cq kepolisian selaku penegak hukum terdepan agar tetap dalam koridor-koridor hukum dan HAM. CCLEO menjabarkan penggunaan kekuatan (upaya paksa) "kekerasan" harus fungsional, profesional dan proporsional. Fungsional, berarti sesuai dengan UU. Profesional, berarti cara penggunaannya sesuai taktis teknis prosedural. Proporsional, berarti telah melewati tahapan-tahapan disesuaikan ancaman gangguan yang dihadapi.

Dewan Parlemen se-Eropa menjabarkan resolusi PBB itu dengan mengeluarkan: The Declaration on The Police (DP) memuat aturan penggunaan kekuatan polisi secara rinci termasuk jika kepolisian menghadapi keadaan darurat perang atau pendudukan oleh kekuatan asing. Yang menarik dari DP itu juga merupakan panduan agar polisi lebih demokratis berani menolak perintah atasan atau pimpinan yang melanggar konstitusi/hukum (Pasal 3). Dan tanggung jawab atas kelalaian tindakan (malactions) di lapangan bukan pada pimpinan atau komandan tetapi pribadi-pribadi yang bertugas di lapangan itu (Pasal 9).

Kasus UMI Makassar

Sangat relevan jika berbagai referensi itu digunakan untuk mengkaji kasus demo UMI Makassar tanggal 1 Mei 2004 lalu; bukan mengeruhkan dengan berbagai polemik apalagi mempolitisasi masalah itu dengan mengaitkannya dengan pemilu Capres dan Cawapres yang sudah dekat?

Sebuah analogi kasus. Jika ada orang terbunuh dengan benda tumpul lalu di dekatnya ada sebongkah batu yang berbercak darah. Apakah kita bisa langsung mengaitkan kematian korban akibat pukulan batu yang bercak darah itu? Belum tentu.

Penyidik masih akan menyelidiki bercak darah yang di batu itu dengan teknologi apakah darah itu darah korban? Belum lagi diameter batu, samakah dengan benturan pada korban? Lalu waktu kematian dengan senyawa darah yang menempel pada batu itu? Dan sebagainya. Sungguh rumit penyidikan itu.

Karenanya perlu diselidiki apakah demo UMI itu benar telah berubah menjadi anarkhis? Apakah mereka menyandera anggota Polri? Apakah melanggar hukum ketika mereka melakukan penistaan terhadap lambang-lambang kehormatan negara seperti seragam TNI? Dapatkah mereka dijerat pasal menebarkan kebencian terhadap perorangan atau golongan/profesi? Apakah demo itu dilakukan dengan pemberitahuan kepada yang berwajib?

Apakah cara penanganan kepolisian sudah sesuai dengan Resolusi PBB dalam hal penggunaan kewenangan dan kekuatannya? Apakah secara fungsional, profesional dan proporsional dapat dipertanggungjawabkan? Inilah antara lain yang harus dikaji juga oleh Komnas HAM terhadap kasus UMI Makassar 1 Mei yang mendapat perhatian luas itu.

Jika kita cermati, pemberitaan media juga belum berimbang dalam kaidah jurnalistik "cover both side". Lihat saja tayangan kekerasan polisi diulang-ulang tetapi perilaku anarkhis dan penyanderaan mahasiswa terhadap polisi tak ditayangkan. Secara total telah menyudutkan Polri tanpa bisa terbela oleh tayangan itu.

Malactions Polisi

Ada buku yang padanannya bisa dijadikan analogi berjudul The Crisis of Global Capitalism 1999. Jika sistem ekonomi bebas kelewat batas, bisa membahayakan sendi-sendi kehidupan sosial? Barangkali padanan dengan kebebasan yang kelewat batas termasuk pers bebas tak terkendali, bisa lebih berbahaya dari pemerintahan yang otoriter?

Kasus malacitions kepolisian sering terjadi di mana pun, bukan untuk dicemooh apalagi untuk dicaci-maki. Kasus Los Angeles 1991 justru dijadikan wahana studi penelitian dan evaluasi untuk meningkatkan kinerja kepolisian seperti dirangkum oleh Lembaga Independen Christoper Commission kemudian melahirkan kebijakan Kepolisian Amerika Serikat, antara lain memperbaiki sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan yang lebih intensif, masalah etika, profesi dan tanggung jawab seorang polisi, pengawasan yang efektif, penelitian masalah kepolisian dan sosial. Bahkan kolumnis John Hall menegaskan; polisi harus lebih kuat dan lebih baik dari siapa pun, baru hukum bisa ditegakkan.

Jika Prof Elijah Adlow dari Universitas Boston menggambarkan kepolisian dari tataran membumi dengan masyarakat, "polisi hanyalah cermin masyarakat". Maka John Hall lebih dari itu; Polisi adalah etalase pemerintah". Kondisi masyarakat dan pemerintah akan memantul pada apa yang terlihat dalam kinerja kepolisiannya.

Apa yang hendak dikatakan oleh Adlow maupun Hall, adalah verifikatif tali temali antara tugas polisi selaku pelindung, pengayom, pelayan masyarakat dengan penegak hukum. Lahir teori J Skolnick, bagaimana menegakkan hukum di masyarakat? Kita harus mau belajar berdemokrasi dengan baik.

Salah satu ciri demokrasi adalah saling menghormati kebebasan mengeluarkan pikiran maupun pendapat, bukan kebebasan mencaci-maki, menghasut, menebar kebencian, permusuhan apalagi menyandera polisi.

Pumpung KUHP kita sedang direvisi maka disarankan agar ada pasal perlindungan khusus terhadap polisi yang sedang bertugas. Jika dalam perang sekalipun polisi tidak boleh dicederai apalagi dibunuh maka sangat pantas jika ada perlindungan hukum siapa pun tak boleh menganggu tugas polisi sampai menyandera polisi. Di berbagai negara, kesalahan seperti itu diancam hukuman mati.

Demokrasi itu adalah kepatuhan terhadap hukum, bukan kebebasan yang "serba boleh". Kebebasan mengeluarkan pikiran pendapat dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk unjuk rasa yang diatur UU. Semua pihak mesti dapat membedakan secara tegas antara unjuk rasa (demo) dengan perilaku anarkhi. Unjuk rasa ada aturan main yang harus dipatuhi. Sedangkan anarki adalah perbuatan melawan hukum harus dihindari. Demi TTKR itu maka Polri diberi kewenangan oleh UU untuk menindak tegas dan keras para pelaku anarkhi.

Rabu, 07 Mei 2008

Batas Wilayah


Fakultas Hukum - Universitas Riau
Mata Kuliah Hukum Internasional

BATAS WILAYAH NKRI

Pembentukan dan perancangan undang-undang (UU) tentang Batas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah menjadi usul inisiatif DPR sebagai salah satu Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sangat penting pada masa transisi ini. Tentu saja RUU itu merupakan hal baru terutama dari segi substansi dan pelaksanaan operasionalnya. Terbukti sampai sekarang Indonesia belum bisa menentukan dan menetapkan batas wilayah negaranya serta belum mempunyai UU mengenai batas wilayah negara.

RUU itu merupakan amanah dari konstitusi negara sebagaimana tercantum dalam Amendemen Kedua UUD 1945 dalam Pasal 25 A, "Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang." Hal ini menyiratkan bahwa mutlak diperlukan UU yang mengatur perbatasan sebagai dasar kebijakan dan strategi untuk mempertahankan kedaulatan NKRI, memperjuangkan kepentingan nasional dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, pemberdayaan dan pengembangan sumber daya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa Indonesia sesuai dengan UUD 1945.

Selain itu pula RUU Batas Wilayah ini menjadi salah satu Prioritas Program Pembangunan Nasional (Propenas) Repeta 2003 yang diharapkan dapat diselesaikan pada tahun 2004. Batas wilayah negara RI mengandung berbagai masalah, seperti garis batas yang belum jelas, pelintas batas, pencurian sumber daya alam, dan kondisi geografi yang merupakan sumber masalah yang dapat mengganggu hubungan antarnegara, terutama posisi Indonesia dii kawasan Asia Tenggara.

Selama ini pula penyelesaian penetapan garis batas wilayah darat dilakukan dengan perjanjian perbatasan yang masih menimbulkan masalah dengan negara-negara tetangga yang sampai sekarang belum tuntas sepenuhnya. Misalnya kesepakatan bersama dengan Timor Leste tentang Garis Batas Laut belum dilakukan.

Begitu juga halnya dengan Republik Palau di daerah utara laut Halmahera belum ada pertemuan bersama. Sedangkan garis batas darat masih ada permasalahan yang belum terselesaikan, antara lain dengan Malaysia di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang disepakati diselesaikan melalui General Border Committee (GBC) antara kedua negara, dan dengan Papua Nugini di sepanjang Provinsi Papua sebelah timur, sedangkan dengan Timor Lorosae di sepan- jang timur Nusa Tenggara Timur.

Banyaknya kasus pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan, kegiatan terorisme, pengambilan sumber daya alam oleh warga negara lain, dan banyaknya nelayan Indonesia yang ditangkap oleh polisi negara lain karena nelayan Indonesia melewati batas wilayah negara lain akibat tidak jelasnya batas wilayah negara.

Masalah lain adalah ketidakjelasan siapa yang berwenang dan melakukan koordinasi terhadap masalah-masalah perbatasan antara Indonesia dan negara-negara tetangga, mulai dari masalah konflik di wilayah perbatasan antara masyarakat perbatasan, siapa yang bertugas mengawasi wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, sampai kepada siapa yang berwenang mengadakan kerja sama dan perundingan dengan negara-negara tetangga, misalnya tentang penentuan garis batas kedua negara.

Perbatasan------------------------------------------------------------------------------------

Perbatasan darat di Kalimantan, beberapa titik batas, belum tuntas disepakati oleh kedua belah pihak. melalui Forum General Border Committee (GBC) dan Joint Indonesia Malaysia Boundary Committee (JIMBC), badan formal bilateral. Permasalahan lain antarkedua negara adalah masalah pelintas batas, penebangan kayu ilegal, dan penyelundupan.

Penentuan batas maritim Indonesia-Malaysia di beberapa bagian wilayah perairan Selat Malaka masih belum disepakati kedua negara. Ketidakjelasan batas maritim tersebut sering menimbulkan friksi di lapangan antara petugas lapangan dan nelayan Indonesia dengan pihak Malaysia.

Masalah dengan Singapura adalah mengenai penambangan pasir laut di perairan sekitar Kepulauan Riau yang telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengakibatkan dikeruknya jutaan ton pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah. Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.

Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena dapat menenggelamkannya, misalnya Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di kemudian hari.

Salah satu isu perbatasan yang harus dicermati adalah belum adanya kesepakatan tentang batas maritim antara Indonesia dengan Filipina di perairan utara dan selatan Pulau Miangas yang dilakukan melalui Forum RI-Filipina yakni Joint Border Committee (JBC) dan Joint Commission for Bilateral Cooperation (JCBC).

Masalah perbatasan dengan Australia adalah penentuan batas yang baru RI-Australia, di sekitar wilayah Celah Timor yang perlu dilakukan secara trilateral bersama Timor Leste. Sedangkan perjanjian perbatasan RI-Australia yang meliputi perjanjian batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) mengacu pada Perjanjian RI- Australia yang ditandatangani pada tanggal 14 Maret 1997.

Dengan Papua Nugini, kendala kultur dapat menyebabkan timbulnya salah pengertian antara kedua negara. Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antar-penduduk yang terdapat di kedua sisi perbatasan, menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional dapat berkembang menjadi masalah kompleks di kemudian hari.

Indonesia dan PNG telah menyepakati batas-batas wilayah darat dan maritim.

Dengan Vietnam, perbedaan pemahaman di kedua negara mengenai wilayah perbatasan antara Pulau Sekatung di Kepulauan Natuna dan Pulau Condore di Vietnam yang berjarak tidak lebih dari 245 mil yang memiliki kontur landas kontinen tanpa batas benua. Sejauh ini kedua negara belum sepakat mengenal batas perairan ZEE Palau dengan ZEE Indonesia yang terletak di utara Papua. Akibat hal ini, sering timbul perbedaan pendapat tentang pelanggaran wilayah yang dilakukan oleh para nelayan kedua pihak.

Masalah di perbatasan kedua negara adalah sejumlah masyarakat Timor Leste yang berada diperbatasan masih menggunakan mata uang rupiah, bahasa Indonesia, serta berinteraksi secara sosial dan budaya dengan masyarakat Indonesia.

Persamaan budaya dan ikatan kekeluargaan antarwarga desa yang terdapat di kedua sisi perbatasan. Hal ini dapat menyebabkan klaim terhadap hak-hak tradisional, dapat berkembang menjadi masalah yang lebih kompleks. Di samping itu, keberadaan pengungsi Timor Leste yang masih berada di wilayah Indonesia dalam jumlah yang cukup besar potensial menjadi permasalahan perbatasan di kemudian hari.

Pendefinisian Batas wilayah Negara dari sumber yang dapat dikutip adalah batas-batas imajiner pada permukaan bumi yang memisahkan wilayah negara dengan negara lain yang umumnya terdiri dari perbatasan darat, laut dan udara.

Di dalam hukum internasional, diakui secara politik dan secara hukum bahwa minimal tiga unsur yang harus dipenuhi untuk berdirinya sebuah negara yang merdeka dan berdaulat yaitu:1) rakyat; 2) wilayah; 3) pemerintahan; 4) pengakuan dunia internasional (ini tidak mutlak). Kalau tidak ada pun tidak menyebabkan sebuah negara itu tidak berdiri

Wilayah sebuah negara itu harus jelas batas-batasnya, ada batas yang bersifat alami, ada batas-batas yang buatan manusia. Batas yang bersifat alami, misalnya sungai, pohon, danau, sedangkan yang bersifat buatan manusia, bisa berupa tembok, tugu, termasuk juga perjanjian-perjanjian internasional. Batas-batas tersebut kita fungsikan sebagai pagar-pagar yuridis, pagar-pagar politis berlakunya kedaulatan nasional Indonesia dan yurisdiksi nasional Indonesia.

Sebuah negara diakui merdeka dan berdaulat atas wilayah tertentu yang dalam hukum internasional disebut "A defined territory" atau batas wilayah tertentu yang pasti. Terkait dengan persoalan penentuan luas wilayah negara, didasarkan pada faktor-faktor tertentu yaitu: dari segi historis, politis, atau hukum.

Begitu juga perubahan yang terjadi atas wilayah-wilayah, seperti berkurang, bertambah, faktor-faktor yang menentukan adalah faktor politis dan faktor hukum, seperti hilangnya Pulau Sipadan-Ligitan.

Masalah perbatasan menunjukkan betapa urgensinya tentang penetapan batas wilayah suatu negara secara defenitif yang diformulasikan dalam bentuk perundang-undangan nasional, terlebih lagi bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan yang sebagian besar batas wilayahnya terditi atas perairan yang tunduk pada pengaturan ketentuan-ketentuan Hukum Laut Internasional dan sisanya berupa batas wilayah daratan dengan negara-negara tetangganya.

Perbatasan bukan hanya semata-mata garis imajiner yang memisahkan satu daerah dengan daerah lainnya, tetapi juga sebuah garis dalam daerah perbatasan terletak batas kedaulatan dengan hak-hak kita sebagai negara yang harus dilakukan dengan undang-undang sebagai landasan hukum tentang batas wilayah NKRI yang diperlukan dalam penye- lenggaraan pemerintahan negara.

Oleh karena itu pengaturan mengenai batas wilayah ini perlu mendapat perhatian untuk menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan Indonesia. Jelasnya batas wilayah NKRI sangat diperlukan untuk penegakan hukum dan sebagai wujud penegakan kedaulatan. Sebab itu UU ini sangat penting untuk dapat diselesaikan oleh DPR.

Undang-undang ini harus memuat apa konsep NKRI, batas kedaulatan nasional, apa yang merupakan yurisdiksi nasional, dan apa pula yang menjadi kewajiban-kewajiban internasional yang harus dipatuhi, harus memuat definisi yang jelas tentang batas, perbatasan, wilayah perbatasan dan tapal tapal batas wilayah, siapa yang dikenakan kewajiban menjadi leading sector dalam implementasi undang-undang batas wilayah NKRI ini.

Created By : BAMA ANTANI